Khamis, 2 September 2010

Cinta Sahabat Kepada Rasul

“Tidak sempurna iman seorang di antara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai ibu-bapaknya, anaknya, dan semua manusia” (HR Bukhari).
Semalam, sewaktu menghadiri halaqah, terlalu banyak cerita cinta yang dinukilkan sehingga bisa membuatku menangis. Mengenangkan kisah-kisah perngorbanan dan cinta para sahabat terhadap Rasulnya. Cinta yang tiada berbelah bagi, tiada sangsi. Cinta yang membuahkan kejayaan dan kekuatan.
Mereka meletakkan cinta Allah dan Rasulnya melebihi segalanya. Mereka telah membuktikan bahawa cinta itu lahir dari keimanannya yang sebenar benarnya. Di atas dasar iman, mereka sangat setia mendampingi beliau, baik dalam susah maupun senang, dalam damai maupun perang.
Kecintaan mereka itu bukan hanya di lidah, melainkan terwujud dengan perbuatan nyata. Betapa cinta sahabat kepada Rasulullah SAW, tergambar ketika Rasulullah SAW bersama Abubakar ash-Shiddiq beristirahat di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Kala itu Rasuklullah SAW tertidur berbantalkan paha Abubakar. Tiba-tiba Abubakar merasa kesakitan karena kakinya digigit kalajengking. Tapi, dia berusaha sekiat tenaga menahan sakit, hingga mencucurkan airmata, jangan sampai pahanya bergerak – khawatir Rasulullah SAW terbangun.
Salah seorang sahabat, Zaid bin Datsima, tak gentar menghadapi ancaman kaum kafir karena begitu luar biasa kecintaannya kepada Rasulullah SAW. Ketika itu, ia sempat disandera oleh kaum musyrik Makkah dan akan dibunuh. ”Hari ini, tidakkah engkau berharap Muhammad akan bersama dengan kita sehingga kami dapat memotong kepalanya, dan engkau dapat kembali kepada keluargamu?” kata Abu Sufyan kepadanya. “Demi Allah, aku tidak berharap sekarang ini Muhammad berada di sini, di mana satu duri pun dapat menyakitinya – jika hal itu menjadi syarat agar aku dapat kembali ke keluargaku,” jawab Zaid tegas. “Wah, aku belum pernah melihat seorang pun yang begitu sayang kepada orang lain seperti para sahabat Muhammad menyayangi Muhammad,” sahut Abu Sofyan. Kisah kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW banyak diungkapkan dalam sejarah.
Salah satunya ditunjukan oleh Umar bin Khatthab. ”Ya, Rasulullah. Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku,” kata Umar. Mendengar itu, Rasulullah SAW menjawab, ”Tak seorang pun di antara kalian beriman, sampai aku lebih mereka cintai daripada jiwamu.” Hari Kiamat ”Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran kepadamu, aku mencintaimu melebihi kecintaanku kepada jiwaku sendiri,” sahut Umar spontan. Maka Rasulullah SAW pun menukas, ”Wahai Umar, kini kamu telah mendapatkan iman itu” (HR Bukhari).
Penhormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah SAW memang merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS Al Fath : 8-9)
Sebuah ayat menekankan pentingnya kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasulullah SAW, ”Katakanlah (wahai Muhammad), jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu, perdagangan yang kamu kekhawatirkan kerugiannya, dan rumah yang kamu senangi, lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik” (QS At-Taubah: 24).
Kecintaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW juga merupakan faktor penting bagi keselamatannya di hari kiamat kelak. Hal itu terungkap ketika suatu hari seorang sahabat bertanya kepada rasulullah SAW, ”Kapankah datangnya hari kiamat?” Maka jawab Rasulullah SAW, ”Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Jawab sahabat itu, “Saya tidak mempersiapkannya dengan banyak shalat, puasa, dan sedekah, tapi dengan mencintaimu dalam hati.” Lalu, sabda Rasulullah SAW, ”Insya Allah, engkau akan bersama orang yang engkau cintai itu.” Menurut Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Shafwan, dan Abu Dzar, Rasulullah SAW telah bersabda mengenai seseorang yang dengan tulus mencintainya, ”Seseorang akan berada di Yaumil Mahsyar bersama orang yang dicintainya.” Mendengar itu, para sahabat sangat berbahagia karena mereka sangat mencintai beliau. Suatu hari seorang sahabat hadir dalam majelis Rasulullah SAW, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku saya mencintaimu lebih dari mencintai nyawa, harta dan keluargaku. Jika berada di rumah, aku selalu memikirkanmu. Aku selalu tak bersabar untuk dapat berjumpa denganmu. Bagaimana jadinya jika aku tidak menjumpaimu lagi, karena engkau pasti akan wafat, demikian juga aku. Kemudian engkau akan mencapai derajat Anbiya, sedangkan aku tidak?” Mendengar itu Rasulullah terdiam. Tak lama kemudian datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu,
”Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah sebaik-baik sahabat, dan itulah karunia Allah Yang Maha Mengetahui” (QS An-Nisa : 69-70).
Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW inilah pula yang menggerakkan mereka menyebarkan berdakwah ke seluruh penjuru dunia. Terduduk Lemas Kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW itu tergambar pada diri seorang perempuan – beberapa saat usai Perang Uhud. Dia baru saja kehilangan ayah, kakak laki-laki dan suaminya yang gugur sebagai syuhada. Ia bukannya meratapi mereka, tapi menanyakan nasib rasulullah SAW, ”Apa yang terjadi pada diri Rasulullah, semoga Allah memberkati dan melimpahkan kedamaian kepadanya.” ”Nabi baik-baik saja sebagaimana engkau mengharapkannya,” jawab para sahabat. Lalu kata perempuan itu lagi, “Tunjukanlah dia kepadaku hingga aku dapat memandangnya.” Kemudian para sahabat menunjukan posisi Rasulullah SAW. “Sungguh, kini semua deritaku tak ada artinya. Sebab, engkau selamat,” kata perempuan itu kepada Rasulullah SAW. ”Mereka yang mencintaiku dengan sangat mendalam adalah orang-orang yang menjemputku. Sebagian dari mereka bersedia mengorbankan keluarga dan kekayaannya untuk berjumpa denganku,” sabda Rasulullah SAW sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah (HR Muslim, Bukhari, Abu Dzar).
Setelah Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin masih senantiasa mencintainya. Suatu malam, Khalifah Umar bin Khatthab melakukan inspeksi di seantero kota Makkah. Ketika itulah, demikian cerita Zayd ibn Aslam dalam sebuah riwayat, Umar menjumpai sebuah rumah bercahaya terang. Di dalamnya seorang perempuan tua mendendangkan sebuah syair yang mengharukan sambil menabuh rebana, hingga Umar terharu lalu terduduk lemas, menangis: Rasulullah, engkaulah yang setiap malam / senantiasa bangun beribadah / dan pada akhir malam menangis / Aku tak tahu dapatkah bertemu lagi dengan kekasihku / Rasulullah telah wafat / Aku tak tahu bisakah kita bertemu lagi Betapa kecintaan sahabat Bilal kepada Rasulullah SAW, terungkap menjelang ia meninggal. Bilal melarang isterinya bersedih hati, sebab, katanya, “Justeru ini adalah kesempatan yang menyenangkan, karena besok aku akan berjumpa dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.” Wafatnya Rasulullah SAW merupakan kesedihan luar biasa bagi para sahabat dan pencintanya. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang menangis di makam Rasulullah SAW sampai ia meninggal. Demikianlah gambaran betapa luar biasa kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW.
Untuk mengungkapkan rasa cinta itu, sewajarnyalah jika kaum muslimin meneladani akhlaq beliau, menerapkan sunnahnya, mengikuti kata-kata dan seluruh perbuatannya, menaati perintah dan menjauhi larangannya. Itulah cinta sejati, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 31: “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Mencari Jalan Saat Terasa Lemah



Bermulanya episod dalam kehidupan..Melalui jalan tarbiyah dalam keadaan benar2 jahil..
Ya, setinggi mana pun derajat manusia itu, ia tetap hamba yg lemah..
Semua org jahil..jahil ttg agamanya..Jahil ttg imannya..
Sedangkan..itu bekalan yg akan dibawa nanti...argh..hina sungguh manusia!
Siapa manusia?..Aku?kamu?..Semua?..
Ya..siapa lagi?
Dalam kerancuan, dalam kekusutan..Cuba mencari yg pasti..
Diteruskan juga perjalanan..digagahi segala kudrat yg ada.
Kerana ada sahabat dan teman seperjuangan..
Yg pasti sampai bila harus disua nikmat?
Sampai bila harus ada yg memujuk hati tatkala terjatuh dan terleka?
Sampai bila?

Proaktiflah, berdaya majulah saudarku fillah...
 Jalan dakwah yang mengoptimumkan kerja dan kemampuan kita, bukan kita! Mulanya..jalan yg dilalui hnya perlu merangkak, namun Semakin selesa merangkak, seakan minta kita cepat berjalan.. Semakin laju kita berjalan, jalan itu seakan minta kita berlari.. Semakin laju kita berlari, sekan meminta kita terbang pula... Ingatlah, semakin cepat kita sampai kpd titik-titik penting, semakin bnyak halangan dan cabaran sedangkan dlm waktu yg sama minta kita cepat berjalan, cepat berlari dan kemudian, minta kita terbang pula... Setiap marhalah ada ujiannya.. Setiap marhalah ada pemudanya! Moga kita lah pemuda itu!

Tafsir Surat Al ‘Ashr: Membebaskan Diri Dari Kerugian


Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).
Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Iman yang Dilandasi dengan Ilmu
Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu.  Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa  membuat dirinya mampu menegakkan agama.”  [Al Furu’ 1/525].
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala  berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ  نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).
Mengamalkan Ilmu
Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya,  seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا
”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.
Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).
Berdakwah kepada Allah
Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).
Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.
Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.
Bersabar dalam Dakwah
Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),
”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]
”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.

Wahai Pemuda! Apa Lagi Kau Tunggu!

Pemuda? Kenapa selalu sahaja pemuda menjadi topik perbincangan yang hangat. Tidak kira dalam arus poltik negara,dalam medan da`wah bahkan dalam apa2 sahaja. Apa yang ada pada pemuda? Apa ada pada pemuda?
Bahkan dalam sejarah dunia banyak sekali episod-episod kisah yg hebat di lakarkan dalam catatan sejarah dunia hasil karya pemuda2 terbilang?
Ciri-ciri Pemuda
Baiklah,mari kita merenung sebentar, apa ada pada diri kita sebagai pemuda?
Pemuda itu adalah generasi dimana dirinya telah baligh hingga ke lingkungan 30 tahun. Pada diri pemuda itu adanya:
  • Semangat yang kuat membara
  • Jiwa yg besar dan kuat
  • Badan yg tegap dan bertenaga
  • Nafsu yg memuncak
  • Kesanggupan untuk melakukan sesuatu perkara
  • Idealistik
Dan bukankah itu benar? Sukarno pernah berkata, berikan aku 10 orang pemuda, aku akan menggoncang dunia!! Dan bukankah itu benar?
Pada diri pemuda ini ada semangat yg membara. Bilamana berkata tentang perjuangan, dirinya lah penuh dengan semangat yg membuak. Dia punya jiwa yg besar yang sanggup menerima cabaran. Jiwanya besar sehingga masalah dilihatnya sebagai kecil. Dia punya badan yang tegap dan penuh tenaga yang dia boleh gunakan. Dia punya nafsu yg memuncak. Bilamana dia diarahkan untuk melakukan sesuatu, dia sanggup melakukannya. Dia punya fikiran yg idealistik. Impikan utopia. Impikan yg terbaik.
Pernah teringat (moga boleh jadi pedoman), berbual dengan pensyarah disini. Dia bertanyakan pandangan saya tentang politik. Tentang apa yang saya nampak dan saya beritahu apa yg saya inginkan. Sebuah negara dimana rakyatnya tidak ada syak wasangka pada apa dan mana-mana bangsa. Pada ketika keadilan diterima untuk semua tetapi hak bangsa asal tanah Melayu ini tidak dicurigai. Pada ketika politik dan pemimpinnya boleh duduk semeja dan faham bahawa mereka itu hanya orang-orang tua biasa kalau tiada kami, rakyat mereka, dan bukannya bertekak siapa yg betul dan salah dan bergaduh. Dan mereka faham bahawa tanggungjawab mereka adalah pada aset negara, ya`ni rakyat dan aset negara terbesar adalah pemuda didalam rakyat itu!
Mudah jawapan lecturer saya : You are too naive Tajul. You are very idealistic and that is very good.However,it is unrealistic. Dan saya agak rasa tertampar dengan apa yang dikatakan. Mungkin waktu itu sebelum mengenal tarbiyah, saya mungkin boleh menerima.t Tetapi kini saya lihat, itu bukan lagi unrealistik. Islamlah yg akan menyediakan segalanya apa yg saya inginkan dalam negara ini.
Pemuda itu cuma satu tiada pada nya: kematangan.
Kerana itu Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul ketika umurnya 40 tahun. Ketika kekuatannya masih ada sebagai seorang yang muda dan ketika baginda telah keluar dari generasi kepemudaan yang tidak matang kepada kematangan. Lihat, cantik Allah susun. Rasul itu masih punya kekuatan dan dalam masa yang sama telah matang dirinya.
Dan betapa Allah inginkan kita lihat betapa pentingnya pemuda ini diturunkan Nya surah Al Kahfi. Kisah tentang pemuda-pemuda Kahfi yang beriman dan berdiri di hadapan pemimpin yang zalim dan terpaksa menyelamatkan diri bagi menyelamatkan iman mereka!

إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman dengan Tuhan mereka; dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka. (Kahfi:13)
Kisah pemuda KAHFI dalam Quran bukan sekadar cerita kosong. Ianya adalah ibrah (pengajaran) tentang sifat pemuda itu. Sifatnya yang tidak mahu melihat kemungkaran. Sifatnya yang berani! Sifatnya yg sanggup berdiri di hadapan pemerintah zalim dan berkata “Tuhan ku adalah Allah yg Esa,” walaupun dia tahu dengan dia berbuat demikian nyawanya akan melayang!!! Itulah pemuda yang ada jati diri:
laisal fata’ man qala haza abi.walakinnal fata’ man qala ha ana za!!
Bukanlah pemuda itu yg berkata ini bapaku. Tetapi pemuda itulah yang berkata,INILAH AKU!!!
Itulah pemuda. Dia punya jati diri, keberanian dan kekuatan yang menggegar. Dia punya jati diri untuk mengatakan ini adalah aku dengan yakinnya. Dia tidak malu menyatakan itulah dirinya dan tiada yang lain mampu menggugat dia!!!
Kita lihat kepada sirah nabawiyah. Ia bukan sekadar kisah-kisah kosong. Sahabat-sahabat Rasulullah adalah pemuda! Kita tak lihat semua itu sebagai pengajaran. Abu Bakar lebih muda daripada baginda s.a.w sebanyak tiga tahun. Umar bin al-Khattab, ketika memeluk Islam berumur dua puluh tujuh tahun. Usman bin Affan lebih muda daripada Rasulullah s.a.w. Manakala Ali pula adalah yang termuda di kalangan mereka semua. Begitu juga Abdullah bin Mas’ud, Said bin Zaid, Abdul Rahman bin Auf, Bilal bin Rabah, Mus’ab bin ‘Umair dan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus lagi dari kalangan para sahabat semuanya adalah pemuda!!!
Kita lihat pula Sultan Muhammad Al-Fateh pembuka Constantinople. Dia cuma berumur 21 tahun ketika itu. Satu tahun lebih tua sahaja dari saya. Betapa besarnya potensi pemuda itu. Tapi sayang, kita tak sedar!!! Di Indonesia, Suharto dijatuhkan oleh Mahasiswa. Oleh gerakan Mahasiswa!!! Di Malaysia, para pemuda pernah luas pengaruhnya!!! Cakap sahaja dimana ceruk dunia. Tapi sayang, potensi kita disalah salurkan. Potensi kita disalah gunakan. Masa muda ini lah untuk membina potensi kerana :

لاتزول قد ما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن أربع :عن عمره فيما أفناه وعن شبابه فيما أبلاه وعن

ماله من اين اآتسبه وفيما انفقه وعن علمه ما عمل فيه

Maksudnya: Tidak melangkah seorang hamba pada hari akhirat kelak sehingga dia ditanya tentang umurnya pada apa yang telah dihabiskannya,masa mudanya pada apa yang telah dipenuhkannya,hartanya dari mana dia mendapatinya dan ke mana dia membelanjakannya dan ilmunya apakah yang telah dilakukan dengannya.

Masa muda bukan lah masa untuk bersuka ria. Bukanlah masa untuk bersenang-senang. Bahkan ketika masa kosong dan lapang itulah sebenarnya pintu kemaksiatan dan panggilan nafsu rancak membuak. Tutuplah pintu kemaksiatan itu!!! Bukan masuk kedalamnya dan menyalurkan potensi kita pada kemaksiatan!!!
Kerana itu lah yg terjadi kini. Ketika pintu kemaksiatan hasil daripada penuh kelapangan (mungkin kerna AUKU) terbuka luas!!! Maka lahirlah segolongan yg berani “jihad” di jalan raya. Ramai yang diatas kamar pengantin sebelum nikah!!! Ramai yang bercinta dengan kawan sejenis!!! Yang berpimpin tangan dengan kawan lawan jenis. Tanpa segan silu bercium peluk dianggap macam perkara biasa, dan menjangkakan adalah asing dan pelik jika seseorang itu tidak ada kekasih hati!!!
Kenapa masalah ini berlaku. Kita punya banyak masalah remaja, sampai botak kepala pemimpin kita, tapi kita tak cari puncanya!!!
Punca cuma satu: Tiadanya kefahaman terhadap Islam ini! Tiada kefahaman yang sempurna!!! Kita fikir, kita dah solat lima waktu penuh, baca Quran, puasa ramadhan, itu dah cukup. Kita juga ada result yang baik. Itu dah cukup. Saudaraku, itu bukan lengkapnya Islam. Islam ini sempurna. Satu sistem yg lengkap. Bukan kita asingkan ibadah dan aktiviti seharian. Bahkan aktiviti itu adalah ibadah!!Tak cukup lagi!!!Ummat sekarang makin rosak. Ini tugas kita!!!
Seronokkah anda duduk, cuma bersolat, penuhkan pelajaran tetapi sahabat di luar sana jauh daripada Islam? Apa anda ingin jawab kalau Allah tanya:
“Aku telah berikan kau ilmu untuk bawa ummat ini kepada Ku. Adakah telah kau tunaikan??”
Saudaraku, kita punya potensi yang luas. Ada relevancnya Allah menurunkan Adam A.S ke bumi. Kalaulah manusia ini terus di syurga, manusia tak akan dapat berkembang. Seperti anak yang dimanjakan. Dapat segala yang diinginkan. Tapi di bumi, ada mehnah dan ujian. Dan ujian itu lah yg membentuk kita dan menyerlahkan potensi kita.
Tea shows its quality in hot water
Bukankah begitu? Kerana itu lah kita dapat lihat betapa besar potensi ibu bapa kita. Betapa jauh mereka melonjak. Kerana masa muda mereka adalah kepayahan. Dan mereka gunakan kepayahan itu sebagai batu loncatan mereka!!!
Abu Bakar lebih muda
daripada baginda s.a.w sebanyak tiga tahun. Umar bin al-Khattab, ketika memeluk Islam
berumur dua puluh tujuh tahun. Usman bin Affan lebih muda daripada Rasulullah s.a.w.
manakala Ali pula adalah yang termuda di kalangan mereka semua. Begitu juga Abdullah
bin Mas’ud, Said bin Zaid, Abdul Rahman bin Auf, Bilal bin Rabah, Mus’ab bin ‘Umair dan
berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus lagi dari kalangan para sahabat semuanya adalah
pemuda
APA PERLU KITA BUAT???
Tanggungjawab besar terletak pada kita. Rasulullah bersabda :

أوصيكم باالشباب خيرا فانهم أرق أفئدة لقد بعثنى الله بالحنفية السمحة فحالفنى الشباب وخالفنى
الشيوخ

Maksudnya: Aku berpesan kepada kamu supaya berbuat baik kepada pemuda, sesungguhnya hati mereka paling lembut. Sesungguhnya Allah telah mengutus aku membawa agama Hanafiah lalu para pemuda bergabung dengan aku dan orang-orang tua menentang aku.
Lihat betapa Rasulullah melihat potensi pemuda itu. Kerana pada pemuda itulah ada tenaga yg besar. Ada kekuatan dan hati serta jiwa raksasa. Tapi dia perlu dipandu, bukan dijatuhkan semangatnya!!!
Pemuda ini perlu diberi kefahaman apa itu Islam. Apa itu sempurnanya Islam sebagai sistem dan betapa perlunya Islam itu diletakkan sebagai Ustaziyatul Alam.
Itulah sepatutnya kita penuhkan pada diri kita: KEFAHAMAN. Kerana dengan kefahaman itulah baru terbinanya kekuatan untuk bergabung. Untuk bergerak.Untuk jati dirinya tidak goyah. Untuk perjuangannya hanya untuk Allah. Bukan untuk nasionalisme, sifat kebangsaan atau barangkali perjuangan merempit.
Carilah pada masa kita dan setiap saat kita untuk bergerak di jalan Allah. Bergabunglah di jalan Allah. Bergeraklah dalam tarbiyah! Jangan ikut da`wah hanya kerana nak mencari calon akhwat, untuk jadi calon menantu buat kita kerna inginkan perempuan yg baik2. Jangan masuk da`wah kerana niat untuk dapat nama!!! Bergeraklah dalam da`wah dan tarbiyah kerana niat kerana Allah. Hanya untuk Allah. Hanya dengan Allah. Hanya kepada Allah. Jadilah kita rahib di malam hari dan satria di siang hari. Tak akan pernah mengisi masa yang luang dengan kemaksiatan dan lagha. Biarlah betapa kita jadi sibuk sekalipun, itu lebih baik daripada membuka ruang untuk kemaksiatan menjengah. Biarlah AUKU menghalang, kita tetap isi masa yang lapang itu dengan tarbiyah. Dengan usaha da`wah.
Saudaraku,
Kerja Kita Banyak. Masa Kita Sedikit. Apa Lagi yang Kita Tunggu!!!!

Keutamaan Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawwal

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.”[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, yang ini termasuk karunia agung dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan kemudahan mendapatkan pahala puasa setahun penuh tanpa adanya kesulitan yang berarti[2].
Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:
Pahala perbuatan baik akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, karena puasa Ramadhan ditambah puasa enam hari di bulan Syawwal menjadi tiga puluh enam hari, pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali menjadi tiga ratus enam puluh hari, yaitu sama dengan satu tahun penuh (tahun Hijriyah)[3].
Keutamaan ini adalah bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan sebulan penuh dan telah mengqadha/membayar (utang puasa Ramadhan) jika ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Barangsiapa yang (telah) berpuasa (di bulan) Ramadhan…”, maka bagi yang mempunyai utang puasa Ramadhan diharuskan menunaikan/membayar utang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa Syawwal[4].
Meskipun demikian, barangsiapa yang berpuasa Syawwal sebelum membayar utang puasa Ramadhan, maka puasanya sah, tinggal kewajibannya membayar utang puasa Ramadhan[5].
Lebih utama jika puasa enam hari ini dilakukan berturut-turut, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, meskipun dibolehkan tidak berturut-turut.[6]
Lebih utama jika puasa ini dilakukan segera setelah hari raya Idhul Fithri, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, menunjukkan kecintaan kepada ibadah puasa serta tidak bosan mengerjakannya, dan supaya nantinya tidak timbul halangan untuk mengerjakannya jika ditunda[7].
Melakukan puasa Syawwal menunjukkan kecintaan seorang muslim kepada ibadah puasa dan bahwa ibadah ini tidak memberatkan dan membosankan, dan ini merupakan pertanda kesempurnaan imannya[8].
Ibadah-ibadah sunnah merupakan penyempurna kekurangan ibadah-ibadah yang wajib, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih[9].
Tanda diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah, adalah dengan giat melakukan amal ibadah lain setelahnya[10].
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HSR Muslim (no. 1164).
[2] Lihat kitab Ahaadiitsush Shiyaam, Ahkaamun wa Aadaab (hal. 157).
[3] Lihat kitab Bahjatun Naazhirin (2/385).
[4] Pendapat ini dikuatkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti’ (3/100), juga syaikh Sulaiman ar-Ruhaili dan para ulama lainnya.
[5] Lihat keterangan syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitab “Ahaadiitsush shiyaam” (hal. 159).
[6] Lihat kitab asy Syarhul Mumti’ (3/100) dan Ahaadiitsush Shiyaam (hal. 158).
[7] Lihat kitab Ahaadiitsush Shiyaam, Ahkaamun wa Aadaab (hal. 158).
[8] Ibid (hal. 157).
[9] Ibid (hal. 158).
[10] Ibid (hal. 157).

Maqashid Asy-Syariah

maslahat
Maqashid adalah jamak dari “maqshid”. Menurut bahasa, maqshid bererti tujuan. Sedangkan dalam istilah para ulama, Maqashid Asy-Syari’ah adalah: tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat Islam sebagai alasan diturunkannya, demi kemaslahatan hamba-hamba Allah.
Manfaat Mempelajari Maqashid Syari’ah
Ada beberapa manfaat bila kita mempelajari Maqashid Syari’ah, antara lain:
  • Mengungkapkan tujuan, alasan, dan hikmah tasyri’ baik yang umum atau khusus, integral atau sebbahagian di segenap bidang kehidupan dan dalam setiap ajaran Islam.
  • Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan setiap zaman, abadi dan realistik
  • Membantu ulama dalam berijtihad dalam bingkai tujuan syariat.
  • Memadukan secara seimbang prinsip “Mengambil zhahir nash” dengan prinsip “memperhatikan ruh dan  substansi nash”
  • Mempersempit perselisihan dan ta’ashub di antara pengikut mazhab fiqih.
Makna Maslahat
Secara etimologi, maslahah bererti manfaat. Bentuk pluralnya adalah mashalih. Dalam istilah para ulama, maslahah adalah: mengambil manfaat dan menolak bahaya. Menurut Imam Ghazali, maslahah adalah: memelihara maksud (tujuan) syariat.
Jenis Maslahat
Maslahat ada beberapa jenis, iaitu Mashlahah Mu’tabarah, Mashlahah Mulghah, dan Mashlahah Mursalah. Masing-masing dijelaskan di bawah ini.
1. Mashlahah Mu’tabarah
Iaitu maslahat yang diakui oleh syariat dengan menetapkan rincian hukum yang dengan jelas bertujuan mewujudkannya. Contohnya:
  • Menjaga agama melalui aqidah, kewajipan solat, syariat jihad, hukum terhadap orang murtad, dll.
  • Memelihara jiwa melalui syariat qishash.
  • Memelihara akal melalui kewajipan menuntut ilmu, pengharaman khamr & hukuman bagi peminumnya.
  • Memelihara keturunan melalui syariat pernikahan, pengharaman zina & hukuman bagi pelakunya.
  • Memelihara harta melalui hukum-hukum transaksi (muamalah maliyyah), pengharaman mencuri & hukuman bagi pelakunya.
2. Mashlahah Mulghah
Iaitu sesuatu yang dianggap maslahat oleh sebagian manusia namun syariat dengan tegas menolaknya melalui penetapan hukum yang tidak menganggapnya sebagai maslahat. Contohnya:
  • Membuat hadits palsu dengan alasan apapun
  • Berlebihan dalam beragama
  • Penetapan puasa 2 bulan berturut-turut bagi orang kaya yang melakukan jima’ di siang Ramadhan
  • Transaksi riba
  • Penyamaan kadar warisan antara anak laki-laki & perempuan.
3. Mashlahah Mursalah
Iaitu maslahat yang tidak dinafikan oleh syariat dan tidak pula diakui secara tegas (didiamkan). Contohnya:
  • Pengumpulan ayat Al-Qur’an dalam mushaf di masa Abu Bakar
  • Penunjukan Umar oleh Abu Bakar sebagai penggantinya
  • Pengadaan penjara di masa Umar
  • Ditumpahkannya susu campuran yang digunakan untuk menipu pembeli di masa Umar
  • Penetapan batas maksimum 4 bulan bagi tentera meninggalkan isterinya oleh Umar
  • Kewajipan negara memberi tunjangan kepada bayi muslim yang lahir di masa Umar
  • Penyatuan kaum muslimin dengan satu mushaf oleh Utsman
  • Penetapan hak warisan oleh Utsman bagi isteri yang dicerai saat suaminya menjelang ajal
  • Perintah Ali kepada Abul Aswad Ad-Du-ali untuk membuat kaedah Nahwu kerana melemahnya kemampuan bahasa Arab kaum muslimin
  • Kewajipan mengganti kepada tukang yang menghilangkan barang pesanan kecuali dengan bukti bukan kecerobohan di masa Ali.
Syarat Penggunaan Maslahat Mursalah
Ada beberapa syarat jika ingin menggunakan maslahat Mursalah, antara lain:
  • Maslahat itu harus berlaku atau berdasarkan prediksi yang kuat dan bukan khayalan.
  • Maslahat yang ingin diwujudkan harus benar-benar dapat diterima akal (logik). Oleh kerana itu maslahat mursalah tidak boleh digunakan dalam ibadah ritual.
  • Harus sesuai dengan tujuan syariat secara umum, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum syariat dan dalil-dalil qath’i.
  • Mendukung realisasi maslahat dharuriyat (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta),  atau menghilangkan kesulitan yang berat dalam beragama.
Jenis Maslahat Berdasarkan Prioritinya
Jika dilihat berdasarkan prioriti, maslahat terbagi kepada tiga jenis, yaitu Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat.
1. Dharuriyat
Iaitu maslahat yang amat menentukan kesinambungan agama dan hidup manusia di dunia mahupun di akhirat, yang jika maslahat ini hilang, maka berakibat kesengsaraan dunia, dan hilangnya nikmat serta datangnya azab di akhirat. Menurut para ulama, ada 5 maslahat dharuriyat : Memelihara dien, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2. Hajiyat
Iaitu maslahat yang diperlukan manusia untuk menghilangkan kesusahan atau kesempitan mereka. Bila maslahat ini tidak wujud, tidak sampai mengakibatkan kehancuran kehidupan, namun manusia jatuh pada kesusahan. Contohnya, berbagai rukhshah dalam ibadah, pembolehan salam dan istishna’ dalam muamalat, syariat thalaq, prinsip “pembatalan hudud kerana syubhat”, kewajiban diyyat atas keluarga pembunuh kerana tidak sengaja sebagai pengganti qishash.
3. Tahsiniyat
Iaitu maslahat yang menjadikan manusia berada dalam adab yang mulia dan akhlaq yang lurus, dan jika tidak terwujud, kehidupan manusia akan bertentangan dengan nilai-nilai kepantasan, akhlaq, dan fitrah yang sehat. Contohnya, menutup aurat dan berpakaian baik dalam solat, taqarrub dengan yang sunnah, larangan berlebihan dalam membelanjakan harta, pengharaman membeli barang yang sedang ditawar orang lain, adab makan & minum, pengharaman mutilasi mayat kerana dendam atau dalam perang, dll.
Beberapa Kaedah
  • Maslahat Dharuriyat adalah tunjang bagi Hajiyat dan Tahsiniyat
  • Hilangnya Dharuriyat automarik berakibat hilangnya yang lain
  • Hilangnya Hajiyat dan Tahsiniyat tidak selalu berakibat hilangnya Dharuriyat
  • Hilangnya Hajiyat dan Tahsiniyat dapat mengganggu Dharuriyat dalam aspek tertentu
  • Harus diusahakan menjaga Hajiyat dan Tahsiniyat untuk kepentingan Dharuriyat.
Referensi Al-Qur’an:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ [٢١:١٠٧]
الر ۚ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ [١٤:١]
يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ [٤:٢٨]
يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ [٧:١٥٧]
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ [٢:١٨٥]
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [٢٢:٧٨]